Filosofi Ketupat dan Lepet
![]() |
gambar ilustrasi ai |
Lebaran adalah momen yang penuh dengan makna karena setelah menjalani kurang lebih puasa satu bulan, baik dari sisi spiritual, sosial, hingga budaya. Di Indonesia, selain tradisi saling silaturahmi bermaaf-maafan dan berkumpul dengan keluarga, ada satu tradisi kuliner yang tidak bisa terpisahkan dari perayaan Idul Fitri, yaitu ketupat dan lepet. Meskipun keduanya terbuat dari bahan yang serupa, yaitu beras yang dibungkus dengan Janur (daun kelapa muda), ketupat dan lepet memiliki filosofi yang mendalam yang terkait erat dengan makna Lebaran itu sendiri.
Ketupat/Kupat
Ketupat, yang dikenal luas sebagai makanan khas Lebaran, memiliki bentuk yang khas, yakni segi empat atau limas. Ketupat terbuat dari beras yang dibungkus dengan Janur (daun kelapa muda) yang dianyam dengan rapat. Proses memasak ketupat juga melibatkan perebusan dalam waktu lama hingga matang, yang membuat tekstur beras menjadi kenyal dan padat.
Secara filosofis, ketupat sering dianggap sebagai simbol penyucian diri bagi orang jawa. Proses pembuatan ketupat yang rumit dan memakan waktu dianggap sebagai gambaran dari usaha dan pengorbanan umat Muslim dalam menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Beras yang dimasukkan ke dalam wadah ketupat merupakan simbol dari jiwa yang bersih, sedangkan daun kelapa muda yang membungkusnya melambangkan ikatan antara manusia dengan Tuhan. Ketupat yang matang adalah hasil dari proses yang panjang, seperti halnya perjalanan spiritual yang membutuhkan ketekunan, pengorbanan, dan kesabaran.
Makna "ketupat" "dalam jawa "ngaku lepat" (mengakiu salah) adalah sebuah ungkapan dalam tradisi yang sering muncul saat Lebaran, terutama di hari raya Idul Fitri. Ungkapan ini memiliki makna yang dalam, mengajarkan tentang kerendahan hati, pengakuan atas kesalahan kepada keluarga atau tetangga, dan permintaan maaf yang tulus
Lepet
Lepet, meskipun mirip dengan ketupat dalam hal bahan dan cara pembuatannya, memiliki bentuk yang lebih sederhana. Lepet biasanya berbentuk lonjong dan terbuat dari ketan yang dibungkus daun kelapa. Meski demikian, lepet juga memiliki makna yang tidak kalah dalam dalam tradisi Lebaran.
Lepet dan "Silep Kang Rapet": Menutup Kesalahan dengan Tulus
"Lepet" dalam bahasa Jawa adalah bentuk kependekan dari "silep kang rapet", yang secara harfiah berarti "menutup dengan rapat." Dalam tradisi Jawa, makna ini tidak hanya mengacu pada bentuk makanan itu sendiri, tetapi juga menggambarkan sikap batin kita setelah meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki diri.
Saat kita berbicara tentang "ngaku lepat" (mengakui kesalahan) dan meminta maaf , langkah berikutnya adalah "silep kang rapet", yaitu menutup kesalahan tersebut dengan rapat, seolah-olah tidak ada celah untuk kembali mengulanginya. Setelah kesalahan kita dimaafkan, kita diingatkan untuk tidak lagi mengulanginya, dan seperti lepet yang rapat dan lengket, kita diajak untuk menjaga hubungan dengan lebih erat dan tidak ada celah untuk kebencian atau kesalahan yang sama terulang kembali.
Melalui tradisi ini, kita tidak hanya menikmati makanan lezat, tetapi juga memperkuat nilai-nilai luhur dari pendahulu kita yang mengajarkan kita untuk lebih dekat dengan Tuhan, lebih peduli dengan sesama, dan selalu bersyukur atas setiap anugerah kehidupan yang kita terima.
Posting Komentar